Rebranding untuk PR: Belajar dari Gojek sampai Meta Inc.

Farrel Fauzan Arvian
8 min readJun 15, 2022

--

Photo by Patrik Michalicka on Unsplash

Rebranding, Momen yang Selalu Terjadi di Sekitar Kita

“We used to be a proper country!”,

Cuit salah satu pengguna Twitter yang membahas tentang perubahan branding sebuah restoran cepat saji ala Jepang di Indonesia, yaitu Hokben. Memang dulu, Hokben dikenal dengan dua maskot laki-laki dan perempuan serba berwarna merah dan biru. Mereka adalah Taro; si anak laki-laki berpakaian biru, dan Hanako; anak perempuan dengan pakaian berwarna merah.

Maskot makanan cepat saji adalah satu daya tarik yang kerap mengingatkan kita dengan brand yang berkaitan. Misalnya adalah Ronald milik McDonald’s dan Kolonel Sanders milik Kentucky Fried Chicken (KFC). Pada abad ke-20, maskot menjadi gimmick pemasaran yang efektif, apalagi ditambah munculnya media audio visual seperti iklan TV.

Sayangnya, pada abad ke-21, pamor gimmick maskot sebagai taktik pemasaran dianggap sudah tidak terlalu efektif, terutama karena arus informasi yang sulit dibendung di internet, menjadikan opini setiap individu bernilai. Beberapa maskot brand dianggap rasis, memiliki stereotipe yang buruk, dan dampaknya mempengaruhi opini publik terhadap brand tersebut.

Untuk mengatasi masalah seperti ini, biasanya perusahaan akan melakukan rebranding. Usaha yang dilakukan tentu saja tidak mencakup perubahan maskot saja, tapi juga bisa sampai perubahan packaging produk, perubahan desain interior restoran, hingga perubahan keseluruhan corporate kit perusahaan (misalnya kartu nama, kop surat, notebook, dan lain-lain).

Baca juga: The Real Reason You Don’t See These Food Mascots Anymore

Perubahan brand atau rebranding memang jadi momentum yang selalu terjadi di sekitar kita. Tidak hanya brand makanan dan minuman, namun brand-brand besar seperti Apple, Facebook (sekarang Meta), Microsoft, bahkan perusahaan dalam negeri seperti Gojek, Kereta Api Indonesia, dan TVRI juga mengalami rebranding untuk menyesuaikan brand-nya dengan keadaan terkini.

Polemik Rebranding, Is It Good or Not?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, rebranding pasti terjadi pada setiap perusahaan untuk tetap beradaptasi dengan kondisi terkini di masyarakat. Mari kita ambil contoh misalnya brand Fair & Lovely, yaitu sebuah produk skincare yang bisa kamu temukan di berbagai minimarket terdekat. Kini, brand tersebut mengganti namanya menjadi Glow & Lovely, menyingkirkan kata “Fair” yang maksudnya cantik.

Melansir dari BBC Indonesia, rebranding ini dilakukan untuk menghilangkan stereotip negatif pada warna kulit gelap. Selain perubahan nama, brand tersebut juga ikut menghapus referensi “pemutih” atau “produk yang membuat warna kulit terang”. Referensi ini menunjukkan ide kecantikan tunggal, yaitu kecantikan kulit putih yang cerah.

Upaya yang dilakukan Fair & Lovely dan Unilever sebagai holding company-nya adalah bentuk rebranding. Menurut Muzellec & Lambkin (2006), rebranding adalah “menciptakan suatu nama yang baru, istilah, simbol, desain, atau kombinasi seluruhnya untuk satu brand yang bertujuan untuk mengembangkan diferensiasi atau posisi baru (reposition) dalam pikiran stakeholder dan kompetitor. Menurutnya, rebranding dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (1)merger, akuisisi, atau spin off dalam perusahaan; (2)adanya perubahan posisi di pasar seperti citra atau reputasi; (3)perubahan strategi perusahaan seperti lokalisasi, serta (4)perubahan eksternal seperti krisis perusahaan atau regulasi hukum.

Jika dilihat dari alasannya, rebranding memiliki kaitan yang kuat dengan peran PR dalam perusahaan. Sebagai garda terdepan dalam hal komunikasi kepada stakeholder, PR harus berupaya untuk menjaga citra, reputasi, dan kondisi perusahaan dari krisis komunikasi. Fungsi ini dijelaskan oleh International PR Association (IPRA) sebagai “untuk mendapatkan pengertian, simpati, serta dukungan dari orang-orang yang berhubungan” (Ardianto, 2011) yang kemudian dijelaskan Cutlip, Center, dan Broom (2008) “akan mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi”.

Memang seringkali, fungsi branding dalam perusahaan lekat dikaitkan dengan tim Marketing Communication, Public Relations, maupun Corporate Communication. Tidak jarang juga, perusahaan membuat sebuah dedicated team untuk mengurus segala hal tentang branding. Hal ini menandakan bahwa brand memiliki peran yang penting dalam perusahaan, salah satunya terhadap citra atau reputasinya.

Belajar Lewat Fenomena Sekitar: Momentum Rebranding Gojek dan Babak yang Baru untuk Meta Inc.

Dari penjelasan sebelumnya, maka bisa dikatakan bahwa menjaga brand tetap sesuai dengan tujuannya adalah sangat penting. Seringkali, rebranding dilakukan untuk menjaga keduanya tetap selaras. Jika hal ini dilakukan dengan baik, maka bisa memberikan dampak yang baik juga terhadap brand yang terkait, dan pastinya juga akan memiliki dampak terhadap citra dan reputasinya.

Salah satu contoh perusahaan yang menerapkan rebranding dengan baik adalah Gojek, sebuah penyedia layanan jasa mulai dari transportasi, layanan food delivery, pembayaran, hingga layanan lainnya berbasis daring (online). Perusahaan ini pada tahun 2019 mengadakan rebranding yang ditandai dengan peluncuran logo barunya, Solv yang serupa dengan tombol on/off terbalik.

Menurut riset yang dibuat oleh Natalia, V., dan Erdiansyah, R., berjudul “Pengaruh Rebranding dan Kualitas Layanan terhadap Brand Image Gojek” (2020), tujuan rebranding ini adalah menegaskan Gojek sebagai solusi kebutuhan sehari-hari konsumen.

Baca juga: Pengaruh Rebranding dan Kualitas Layanan Terhadap Brand Image Gojek

Melalui serangkaian riset secara kuantitatif kepada 67 responden, ditemukan bahwa rebranding dan kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap brand image sebuah perusahaan, namun pengaruh yang lebih dominan tetap berasal dari kualitas pelayanan. Pada variabel rebranding yang memiliki dimensi paling tinggi adalah redesign, berarti menyediakan perubahan desain, slogan, atau aspek lainnya yang menarik perhatian masyarakat.

Jika disandingkan dengan opini penulis sendiri, rebranding yang dilakukan Gojek memang dapat dikatakan berhasil untuk mengubah image layanan Gojek yang sekadar untuk transportasi, menjadi layanan untuk seluruh kebutuhan masyarakat secara daring. Identitas baru Gojek juga lebih modern dan adaptif dalam beragam situasi kondisi, dibandingkan dengan identitas lamanya yang memiliki logo bergambar orang mengendarai motor.

Berbanding terbalik dengan rebranding merk Gojek yang dapat dikatakan berhasil, kasus rebranding Facebook menjadi Meta bisa dibilang merupakan salah satu contoh rebranding yang hasilnya kurang memuaskan masyarakat.

Walaupun belum ada riset yang secara signifikan membahas tentang pengaruh rebranding Facebook dengan reputasi atau image perusahaannya (Facebook — kini sebagai Meta), namun kita bisa melihat tulisan-tulisan berita yang mengulas tentang perubahan ini.

Dalam salah satu artikel yang diterbitkan oleh Bisnis Indonesia berjudul “Rebranding Facebook dan Citra Buruk yang Terlanjur Melekat”, dikemukakan bahwa tujuan rebranding ini adalah membuka babak baru perusahaan dalam dunia virtual (metaverse). Hal tersebut ditandai dengan peluncuran Meta Platform Inc., dan perubahan logo perusahaan yang berbentuk simbol infinity.

Baca juga: Rebranding Facebook dan Citra Buruk yang Terlanjur Melekat

Tetapi, alih-alih mendapatkan pemberitaan positif, muncul serangkaian cerita negatif yang mengatakan bahwa rebranding ini dilakukan untuk memoles image Facebook yang pada saat itu sedang buruk karena beberapa kebijakan penyebaran informasinya. Melansir artikel dari Bisnis Indonesia tersebut, bahkan ada salah satu senator Amerika Serikat yang menggambarkan langkah tersebut sebagai sebuah ‘kosmetik’.

Hal ini menandakan bahwa tindakan rebranding yang dilakukan Facebook terjadi pada saat yang tidak tepat, yaitu ketika perusahaan itu masih bergelut dalam masalah image-nya. Seharusnya Meta dapat menyelesaikan permasalahan pemberitaan negatifnya terlebih dahulu, dan menjadwalkan relaunching pada waktu yang lebih baik.

Itulah dua contoh rebranding yang terjadi pada suatu merek. Melalui penjelasan singkat di atas, terlihat bagaimana treatment perusahaan terhadap proses rebranding juga akan mempengaruhi hasil rebranding yang ada, apakah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan perusahaan serta masyarakat. Untuk meminimalisir rebranding ini menimbulkan dampak yang buruk , kita bisa menggunakan pedoman rebranding yang dibuat oleh para ahli branding di dunia. Salah satunya adalah konsep tahapan rebranding menurut Muzellec & Lambkin yang muncul pada tahun 2006.

Dari Kepala sampai Ujung Kaki, Begini Proses Rebranding Menurut Muzellec & Lambkin

Pada tahun 2006, Muzellec, Doogan, dan Lambkin (2006) menerbitkan sebuah konsep proses rebranding yang dijelaskan melalui tulisan “Corporate Rebranding: Destroying, Transferring, or Creating Brand Equity?” pada European Journals of Marketing. Menurut mereka, proses rebranding terdiri atas empat tahapan yaitu (1)Repositioning; (2)Renaming; (3)Redesigning; dan yang terakhir adalah (4)Relaunching. Berikut penjelasan tiap-tiap tahapan rebranding-nya:

1. Proses Repositioning (Pembaharuan Posisi)

Tahapan ini merupakan tahapan pertama dalam proses rebranding menurut Muzellec dan rekan-rekannya (2006). Pada tahapan ini, perusahaan dapat menetapkan tujuan rebranding, mengambil keputusan untuk membuat sebuah positioning baru mengenai brand yang akan dilakukan rebranding ke dalam benak konsumen, kompetitor, maupun stakeholder lainya.

Pada saat repositioning dilakukan, perusahaan dapat melakukan riset mendalam mengenai analisis terkini, riset tren, riset pasar, maupun audit brand untuk menentukan keadaan brand pada saat tersebut dan hal-hal apa saja yang dapat dijadikan opportunity atau obstacle ketika melakukan repositioning. Jika dilakukan dengan baik, proses ini akan menghasilkan brand position baru yang lebih unik, berbeda, kuat, dan sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Proses Renaming (Pembaharuan Nama)

Setelah melalui tahapan repositioning, kita dapat beralih ke tahapan renaming. Tahapan renaming bertujuan untuk menentukan nama brand yang akan berpengaruh terhadap kesadaran merek (brand awareness) dan keseluruhan intisari pesan (key message) yang hendak dibawakan oleh perusahaan.

Untuk menentukan nama yang baik bagi sebuah brand, perusahaan dapat memilih nama, kata, atau istilah yang familiar di telinga pasar dan stakeholder, sederhana, tidak bermakna ganda, dan unik (tidak digunakan oleh brand lain).

3. Proses Redesigning (Pembaharuan Desain)

Tahapan berikutnya adalah melakukan pembaharuan desain atau redesigning. Pembaharuan yang dilakukan tidak hanya mencakup aspek visual seperti logo, warna, dan pola; namun juga pada hal-hal yang bisa menjadi identitas perusahaan seperti alat tulis kantor, seragam, kemasan produk, hingga pada salam khas atau jingle.

Untuk memastikan proses redesigning berjalan dengan semestinya, perusahaan dapat mendaftarkan beberapa elemen identitas perusahaan yang harus dilakukan redesign, setelah itu maka eksekusi pembaharuan desain dapat dilakukan. Tahapan ini dapat dikatakan sangat krusial karena berperan penting dalam membentuk brand equity yang kemudian berpengaruh besar terhadap brand awareness.

4. Proses Relaunching (Peluncuran Ulang)

Tahapan relaunching adalah tahap terakhir dalam sebuah rebranding menurut Muzellec dan rekan-rekannya (2006). Peluncuran ulang bertujuan untuk menginformasikan kepada seluruh publik perusahaan telah melakukan rebranding dan akan menjalankan “cara” baru dalam pendekatan strategi branding-nya. Hal ini dapat menciptakan awareness mengenai proses rebranding yang sudah dilakukan dan sebagai bentuk komunikasi yang baik kepada publik perusahaan.

Beberapa bentuk relaunching yang dapat dipilih perusahaan bervariasi sesuai kebutuhannya. Misalnya secara internal, perusahaan dapat membuat newsletter, papan komunikasi, pemberitahuan melalui intranet, bahkan membuat acara khusus seperti townhall. Sementara itu secara eksternal, perusahaan dapat menggunakan media sosial, press release, hingga konferensi pers untuk mengumumkan rebranding yang telah dilakukan.

Penutup: Belajar, Belajar, dan Belajar!

Seperti pernyataan Muzellec dan rekan-rekannya (2006) pada “Corporate Rebranding: Destroying, Transferring, or Creating Brand Equity?” yang mengatakan,

“Companies changing their brand names are frequently reported in the Business Press but this phenomenon has as yet received little academic attention.”

Bahwa menurutnya perusahaan mengubah nama brand-nya seringkali dilaporkan di media berita, namun fenomena ini hanya sedikit mendapatkan perhatian dari dunia akademisi. Pesan ini menyiramkan bahwa dalam fenomena rebranding, ada banyak hal yang bisa digali dan dipelajari, bahkan mungkin dijadikan inovasi untuk fenomena yang serupa.

Maka itu, sebagai manusia yang memiliki akal pikiran, sudah sepantasnya untuk selalu belajar, mencari tahu, bahkan jika bisa ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk mengulas fenomena rebranding ini. Karena dengan adanya inovasi mengenai fenomena rebranding yang ditinjau secara akademik, akan membantu tidak hanya perusahaan, namun juga masyarakat untuk lebih memahami bagaimana sebuah brand dapat menjadi kawan, atau malahan lawan untuk masyarakat.

Referensi Bacaan

Jurnal Ilmiah

Muzellec, L., Lambkin, M. 2006. Corporate Rebranding: Destroying, Transferring, or Creating Brand Equity?. European Journals of Marketing. Emerald Group Publishing Ltd. Bingley. Dikutip pada 22 Mei 2022 melalui laman: https://journal.untar.ac.id/index.php/prologia/article/view/6481.

Natalia, V., Erdiansyah, R. 2020. Pengaruh Rebranding dan Kualitas Layanan Terhadap Brand Image Gojek. Prologia. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara. Jakarta. Dikutip pada 23 Mei melalui laman: https://www.researchgate.net/publication/235302846_Corporate_rebranding_Destroying_transferring_or_creating_brand_equity .

Buku

Ardianto, E. 2011. Handbook of Public Relations. Simbiosa Rekatama Media. Bandung.

Cutlip, S., Center, A. & Broom, G. 2008. Effective Public Relations (10th Edition). Prentice-Hall. New Jersey.

Artikel Internet

Gerrard, Gene. 3 Juni 2021. The Real Reason You Don’t See These Food Mascots Anymore. mashed.com. Dikutip pada 21 Mei 2022 melalui laman https://www.mashed.com/234326/the-real-reason-you-dont-see-these-food-mascots-anymore/ pukul 19:00

Jones, Lora. 26 Juni 2020. Unilever Akan Ubah Nama Krim Fair & Lovely Setelah Diprotes Karena Dianggap ‘Sebabkan Stereotip Negatif pada Warna Kulit Gelap. bbc.com. Dikutip pada 21 Mei 2022 melalui laman https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53188200 pukul 23:30.

Sari, Sri M. 3 Oktober 2021. Rebranding Facebook dan Citra Buruk yang Terlanjur Melekat. bisnisindonesia.id Dikutip pada 23 Mei 2022 pukul 17:00 melalui laman: https://bisnisindonesia.id/article/Rebranding-Facebook-dan-Citra-Buruk-yang-Terlanjur-Melekat

--

--

Farrel Fauzan Arvian
Farrel Fauzan Arvian

Written by Farrel Fauzan Arvian

Menulis adalah menuangkan ide pikiran, dan kadang, pikiran saya kusut dengan ide. Jadi inilah tulisan-tulisan saya, untuk menguntai apa yang kusut di kepala.

No responses yet