Peristiwa “Demokrasi” 22 Mei 2019 di Mata Mahasiswa Komunikasi
PENDAHULUAN
Tanggal 22 Mei 2019 menjadi salah satu lembaran hitam baru bagi negara kita, Indonesia. Sebuah peristiwa ‘hampir’ berdarah terjadi di beberapa titik ibukota DKI Jakarta. Peristiwa tersebut adalah aksi unjuk rasa damai yang berujung anarkis.
Aksi unjuk rasa pada hari-hari terakhir bulan Ramadan ini dikatakan sebagai buah dari kekecewaan sebagian masyarakat terhadap hasil pemilihan presiden tanggal 17 April 2019 — sekitar sebulan sebelum aksi ini. Hasil yang ditetapkan pada 22 Mei mengumumkan bahwa resmi, pasangan calon presiden 01 Joko Widodo dan Ma’aruf Amin memenangkan suara rakyat dengan jumlah 55,50 persen, sekitar sebelas persen lebih unggul dari pasangan calon 02 Prabowo dan Sandiaga Uno yang berada pada angka 44,50 persen.
Pernyataan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menimbulkan beberapa opini di masyarakat, baik pro maupun kontra. Hal ini salah satunya muncul karena asumsi masyarakat yang didasari ketidakpercayaan pada KPU.
Adanya opini di masyarakat mengenai trust di Badan KPU menjadi pupuk penyubur masalah ini. Alasan-alasan inilah yang mengantarkan sebagian masyarakat Indonesia untuk ikut berunjuk rasa 22 Mei lalu.
Saya sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, khususnya di bidang Public Relations mencoba mengkaji secara sederhana sebenarnya di mata mahasiswa Komunikasi, apa yang terjadi pada peristiwa ini.
PROPAGANDA
Propaganda merupakan salah satu bagian dari taktik Public Relations dalam menanamkan persuasi kepada publiknya. Menurut ahli, propaganda ialah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya — representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kegiatan kelompok (Laswell). Definisi ini sejalan dengan pemikiran Barneys bahwa propaganda (modern) ialah suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu penguasa atau kelompok (Barneys). Kedua pengertian tersebut berjalan berdampingan meneguhkan definisi propaganda sebagai tools untuk mempengaruhi opini publik terhadap suatu peristiwa. Propaganda terdiri atas white propaganda (seperti penyampaian kebijakan pemerintah di media televisi), grey propaganda (penyampaian informasi yang tidak sepenuhnya benar), ratio propaganda (untuk menciptakan persatuan dan nama baik), serta black propaganda (informasi tidak benar).
Pada kasus 22 Mei 2019, terdapat beberapa propaganda yang dibuat oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk membakar amarah massa. Black propaganda diibaratkan sebagai batu barah aksi unjuk rasa ini. Berbagai hoax bertebaran di media sosial dan memang tidak terbukti kebenarannya. Istilah “PKI”, “Ganyang Cina” dan “Pribumi” kerap dikumandangkan sebagai bagian dari bumbu propaganda hitam ini. Kisah-kisah bohong seperti penculikan petinggi agama dan penyerangan rumah ibadah menjadi isu hangat yang diangkat untuk membakar amarah massa di Jakarta. Oknum-oknum kembali menyusupi pikiran-pikiran masyarakat dengan bisikan-bisikan bohong demi keuntungan mereka. Propaganda menjadi salah satu alat politik untuk mencapai tujuan oknum-oknum tersebut.
MANAJEMEN REPUTASI
Manajemen reputasi menjadi tools lain dalam menciptakan persepsi di masyarakat. Manajemen merupakan sebuah proses untuk mengatur organisasi agar mencapai tujuannya, sementara reputasi adalah sebuah sudut pandang dan pemikiran masyarakat terhadap sebuah organisasi. Reputasi ini, berhubungan dengan citra organisasi. Manajemen reputasi dibutuhkan untuk melakukan maintain terhadap anggapan yang ada sehingga masyarakat tetap menaruh kepercayaan kepada organisasi yang bersangkutan.
Teknik yang dapat dilakukan dalam melakukan manajemen reputasi adalah pengawalan media sosial, manajemen konten, serta optimasi mesin pencari. Salah satu manajemen reputasi yang dilakukan oleh baik paslon 01 dan 02 tentunya berbeda, menimbang bagaimana citra mereka di masyarakat. Paslon 01, menerapkan manajemen reputasi yang cukup tenang dan tidak terkesan tergopoh-gopoh dalam menanggapi peristiwa 22 Mei 2019 ini. Aksi massa tidak menyulur emosi kedua paslon sehingga reputasi yang ada bisa di-manage oleh Public Relations paslon 01. Di sisi lain, paslon 02 sebagai oposisi dari 01 mulai melakukan managing reputasi mereka melalui sebuah video pernyataan yang dikeluarkan. Dalam video tersebut, paslon 02 membantah bahwa massa yang melakukan hal anarkis pada untuk rasa 22 Mei 2019 ini. Hal ini dilakukan untuk menciptakan reputasi baik bagi paslon dalam menanggapi peristiwa tersebut. Dengan membuat pernyataan ini, paslon 02 menegaskan bahwa massa yang anarkis bukanlah bagian dari kubu pro paslon 02, namun hanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Manajemen reputasi menjadi tools yang cukup penting untuk menjaga nama baik paslon.
KACAMATA KOMUNIKASI
Dari perspektif saya sebagai seorang mahasiswa, bisa saya simpulkan bahwa tools-tools yang digunakan oleh kedua paslon antara lain baik berupa propaganda maupun manajemen reputasi. Dua alat tersebut sejatinya bisa menjadi media untuk memberikan informasi yang diberikan oleh kedua paslon dalam mencapai tujuannya.
Aksi unjuk rasa pada 22 Mei 2019 merupakan salah satu lembaran hitam bagi Indonesia, bagaimana tools komunikasi khususnya yang biasa dipakai seorang Public Relations ini dapat mengarahkan, menumbuhkan, mengganti, bahkan membantah opini yang ada di masyarakat. Sebagai salah satu bidang komunikasi, Public Relations harus memiliki hati nurani dan memakai logika untuk menjalankan tugasnya, sehingga tidak menciptakan opini yang salah di masyarakat — karena berdampak pada reputasi apapun yang diwakilinya.
Dalam kacamata komunikasi, tidak ada salah maupun benar. Tidak ada kubu A maupun kubu B. Hanya ada strategi-strategi penyampaian pesan yang dapat digunakan untuk hal yang baik, serta hal yang buruk. Semua kembali lagi kepada kita sebagai aktor komunikasi untuk menentukan, komunikasi digunakan untuk menciptakan hal yang baik, atau menciptakan chaos di masyarakat. Komunikasi memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan masyarakat.
PENUTUP
Sejatinya tulisan di atas hanya sedikit analisis saya serta tambahan opini mengenai peristiwa unjuk rasa 22 Mei 2019. Tulisan ini saya harap bisa menjadi bacaan ringan untuk memahami bagaimana aksi tersebut di mata saya selaku mahasiswa komunikasi. Akhir kata, saya ingin mengucap terima kasih kepada otak saya yang sok ide untuk tiba-tiba mendapatkan ide untuk menulis opini ini. Terimakasih, dan feel free to comment!
Sumber :