Pandemi Ini “Hampir” Membunuhku

Farrel Fauzan Arvian
3 min readDec 7, 2020

--

Illustrasi Lockdown. Photo by Elena Mozhvilo on Unsplash

Pernah tidak, kalian merasakan satu titik pada tahun 2020 ini, di mana kalian merasa tidak dapat melangkah ke depan, dan hanya bisa berayun gontai mengikuti arus air membawa kalian ke hilir yang mana?

Ya, akupun turut mengalami hal tersebut. Aku bisa bilang, umat manusia pada tahun ini harus mengarungi sebuah sungai yang ganas, dengan hujan badai di atasnya, serta gemuruh tanda jatuhnya bebatuan sungai mengikuti perjalanan kita. Memang, dalam mengarungi sungai yang kelihatannya tidak berujung ini, beberapa dari kita diberikan sedikit berkat berupa privilege. Artinya ia tidak perlu khawatir dengan derasnya arus sungai dan kerasnya badai, bisa rebahan sepanjang hari di kapal yang cantik dan lengkap dengan segalanya. Namun untuk beberapa sebagian dari kita, kapal — malahan mungkin hanya sampan, yang menemani kita cuma sebatas sekoci kecil dari kayu, atau malahan hanya gelondongan kayu itu sendiri.

Terlepas dari privilege manusia yang pastinya berbeda-beda, banyak dari kita yang mengalami satu hal yang sama, yaitu mental burnout. Kondisi ini dijelaskan oleh Stamm, B (2005) sebagai kondisi di mana kita seperti tidak memiliki harapan dan kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau kesulitan mengerjakan pekerjaan secara efektif. Mungkin terlihat mengada-ngada, tapi 8 dari 10 orang yang aku tanya mengenai mental burnout ini mengatakan hal serupa. Nyatanya, terlalu lama di rumah membuat kita muak berada di dalamnya.

Aku sendiri, sebenarnya berusaha mengikuti protokol kesehatan dengan tidak keluyuran jika memang tidak memiliki keperluan mendesak. Tapi, manusia tetap manusia bukan? Kadang kita bisa ngeyel dengan anjuran, eh aturan pemerintah.

“Toh gue keluyuran dengan alasan daripada gila di rumah!”

Dalih orang-orang yang pergi-pergi, kongkow, nongkrong, dipastikan hampir sama. Lelah sama rumah.

“Lho emang bisa gitu ya Rel?”

Semua ada toh penjelasannya. Alasan paling mudah adalah rumah bukan menjadi tempat nyaman kita untuk bernaung. Ada saja memang, orang-orang yang menjadikan rumah sebagai tempat beristirahat secara fisik, tetapi bukan beristirahat secara mental.

Mari kita bayangkan, anak-anak yang broken home. Mereka biasanya bisa mendapatkan kasih sayang dari luar rumah, misalnya sekolah, di mana mereka bertemu dengan guru-guru dan teman-teman kesayangannya. Jika kita berpikir sebagai masyarakat ideal yang sering muncul di buku Bahasa Indonesia dulu — keluarga Andi dan Bu Budi yang suka gotong royong membersihkan rumah pada hari minggu, seharusnya rumah menjadi tempat yang hangat untuk rehat kan? Tapi hoho tidak semudah itu ferguso. Rumah malah bisa menambah beban bagi mereka-mereka yang memang tidak betah untuk berlama-lama singgah.

Ada satu Tweet lucu yang tempo hari pernah Aku Retweet. Kicauan itu berbunyi,

“Tinggal sama keluarga nggak gratis, bayarnya pakai mental health”

Aku, sebagai orang yang memang kurang betah ada di rumah lama-lama, merasa relate sekali dengan omongan ini. Zuzur moms, siapa sih yang mau lama-lama di lingkungan yang malah menyerap energi kita? Capek pasti.

Nah, readers yang terhormat, kalau mencari tips-tips betah di rumah pasti sudah banyak sekali beredar di Internet. Tinggal kita sebagai manusia di era digital yang pandai-pandai mencarinya. Tetapi nih, Aku mau memberi sedikit masukan, mungkin informasi untuk readers yang terhormat sekalian.

Keluarga adalah lembaga primer, sebuah kesatuan terkecil dalam masyarakat. Menurut konsep Sosiologi, keluargalah yang membangun masyarakat dari kecil, which is anak-anak. Keluarga di era modern ini, bukan berarti hanya ayah-ibu, nenek-kakek, paman-bibi saja. Keluarga adalah orang-orang yang peduli terhadap Kamu, diri Kamu, dan orang yang Kamu juga pedulikan.

Menurut riset yang dilakukan oleh Save The Children (2020) melalui narasi PRspective 3.0, angka Time Together dalam keluarga meningkat, namun tidak disertai dengan meningkatnya angka Positive Communication. Komunikasi positif ini padahal penting, karena membantu membangun kepercayaan Kamu dengan keluarga Kamu, dalam rangka mengurangi mental burnout tersebut hingga bisa lebih betah di rumah.

Kembali lagi ke beberapa paragraf sebelumnya, ada banyak cara dan tips yang bisa dilakukan untuk meningkatkan rasa “kebetahan” di rumah. Tinggal kita sebagai masyarakat yang beradab harus memanfaatkan internet untuk mencari informasi tersebut.

Tulisan in hanyalah sebuah pengingat, bahwa mental burnout itu ada, dan kita sebagai manusia, yang saling terkoneksi, dan menjadi bagian dari keluarga untuk seseorang manusia di luar sana, harus sadar. Lihatlah sekelilingmu, mungkin ibumu, ayahmu, kakekmu, nenekmu, pamanmu, bibimu, kakakmu, adikmu, temanmu, atau tetanggamu sedang butuh bantuan Kamu!

Mari belajar untuk terbuka dan mendengarkan orang lain. Mari belajar untuk saling memahami pada masa sulit seperti ini readers.

###

--

--

Farrel Fauzan Arvian
Farrel Fauzan Arvian

Written by Farrel Fauzan Arvian

Menulis adalah menuangkan ide pikiran, dan kadang, pikiran saya kusut dengan ide. Jadi inilah tulisan-tulisan saya, untuk menguntai apa yang kusut di kepala.

No responses yet