Love-Hate Relationship: Bukan Cuma tentang Pasangan

Farrel Fauzan Arvian
4 min readJun 17, 2024

--

Photo by Ehimetalor Akhere Unuabona on Unsplash

Mendengar cerita tentang love-hate relationship, referensi pertama yang akan kita coba rujuk pastinya adalah pasangan, teman sebaya, atau hubungan sosial dengan manusia lain. Sebenarnya apa itu love-hate relationship?

Jawapos mengemukakan bahwa love-hate relationship menggambarkan hubungan romantis yang memiliki dinamik benci tapi cinta, atau sebaliknya. Misalnya kamu punya pacar toksik yang setiap hari ngajak berantem, tapi kamu enggak bisa lepas dari dia karena kamu cinta sama dia tulus seratus persen. Tetapi pada perjalanan hubungan itu, banyak masalah yang memberikan dampak negatif, yang kemudian menumbuhkan sesuatu hal yang buruk namun kamu tidak sadari karena kamu ‘terlanjur cinta’ dengan dirinya.

Oke, back to topic. Secara umum kita melihat love-hate relationship notabene berasal dari interaksi hubungan dua manusia. Tetapi bagaimana dengan love-hate relationship dengan diri sendiri? Apakah itu possible?

Yes, menurutku pribadi hal itu bisa aja terjadi. Contohnya paling gampang yang bisa aku share adalah betapa hobi menulis itu jadi ladang pembawa pundi-pundi emas bagiku, namun di sisi lain juga jadi petaka yang mengancam kesehatan pikiranku.

Here’s the story. Menurut 16 Personalities MBTI, aku adalah seorang ENJF dengan kemampuan komunikasi ekstrovert yang mumpuni, ini selalu berulang di setiap pengambilan tes dilakukan. Masalahnya, aku merasa sebenarnya introvert mampus, INFJ yang hobinya ngayal dan penuh dengan idealisme. Maka itu, menulis jadi sumber komunikasi aku dengan dunia eksternal seperti kalian, para pembaca. Lucunya bahkan ketika baca tarot, peramal ala-ala ini bilang menulis akan jadi cara lo berkarier.

Well, she’s right. Karierku dimulai dengan menjadi content writer di sebuah agency kecil, kemudian menjadi social media officer yang semakin menempel dengan tulis-menulis, dilanjutkan menjadi content marketing, content writer, dan content marketing kembali. Awalnya menulis itu jadi berkah yang memberikan aku kesempatan untuk berkembang. Tetapi, semakin tinggi tuntutan untuk menulis setiap hari, finally taking its toll on me.

Aku berujung punya burn out setiap selesai menulis, terutama tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kantor dan itu memperburuk kreativitas ku terhadap dunia seni ketik-mengetik. Aku yang awalnya memperhatikan pengejaan, grammar, dan kaidah penulisan lain jadi masa bodo karena bagai dikejar setan, semua harus diselesaikan dengan cepat.

Sepertinya bos di kantor baru ku paham masalah itu, dan dia mengizinkan aku untuk explore semua minat — belum tentu bakat, yang masih sejalan dengan set kompetensi aku di bidang pemasaran dan kehumasan. Untuk sekarang, walau masih struggling, aku sedang mencoba adjusting untuk bisa tetap produktif dan memberikan hasil terbaik demi karier yang cemerlang.

Ini lah yang aku maksud dengan love-hate relationship dengan diri sendiri. Sebuah keadaan yang mana kamu merasa suka dengan sesuatu pada diri mu sendiri, namun di sisi lain juga membencinya karena tahu ada sebagian hal itu yang pelan-pelan meracunimu. Ah, dikira Romeo Juliet minum racun kali ya??

Contoh konkret lain yang bisa aku bagikan adalah bagaimana aku nyaman dengan diri sendiri, namun di sisi lain benci melihat diri yang sangat overkapasitas dalam hal lemak-lemak membandel. Kalau bisa minum sunlight untuk meluruhkan lemak, sudah kulakukan pasti dari dulu kala. Walau aku merasa confident dengan situasi yang ada sekarang, selalu terbesit pemikiran untuk bisa pindah jiwa dan cari raga manusia lain yang lebih tampan, misalnya kalo bisa cloning Afgan, David Beckham, atau Orlando Bloom, aku sudah lakukan saat ini juga. :D

Love-hate relationship itu bukan hanya masalah interpersonal yang punya akibat buruk terhadap diri sendiri. Terkadang, masalah love-hate relationship dengan diri sendiri juga perlu kita perhatikan agar tidak membengkak dan melebar — seperti bentuk perutku pada saat menulis ini. Parahnya, karena hubungannya ‘ke dalam’, banyak oran yang tidak memperhatikan dan malah menumpuk jadi bom waktu yang bisa meledak kapanpun mereka mau.

Terus bagaimana Rel kita mencegah love-hate relationship dengan diri sendiri berkembang jadi sangat buruk?

Pertanyaan yang bagus, tapi aku juga enggak punya jawabannya. Setiap orang punya masalah yang berbeda, dengan solusi yang juga berbeda-beda. Menurutku yang terpenting adalah selalu mempertimbangkan hati dan pikiran ketika mengambil keputusan. Jangan terlalu dipikirkan oleh kepala karena hati juga punya nalurinya, tetapi jangan juga terlalu mengikuti naluri terutama ketika hal yang kita akan pilih termasuk hal yang tidak logis di kepala.

Pentingnya bisa memahami diri sendiri dan masalah yang sedang kamu hadapi, karena ini adalah awal untuk memutus rantai love-hate relationship dengan diri kamu sendiri. Komunikasikan kebutuhanmu kepada diri sendiri, minta dukungan orang lain yang kamu percaya seperti sahabat atau keluarga, dan dengarkan saran-saran mereka yang menurutmu cocok dilakukan — enggak mesti kamu lakukan, kok!

In the end, love-hate relationship adalah hal yang wajar, dan kita sebagai manusia pasti pernah merasakan suka-benci dengan diri sendiri. Keep your chin up because it’s not your fault. It’s just a bad day that will go away.

--

--

Farrel Fauzan Arvian
Farrel Fauzan Arvian

Written by Farrel Fauzan Arvian

Menulis adalah menuangkan ide pikiran, dan kadang, pikiran saya kusut dengan ide. Jadi inilah tulisan-tulisan saya, untuk menguntai apa yang kusut di kepala.

No responses yet