Humas dan COVID-19 : Sebuah Kesempitan dan Kesempatan

Farrel Fauzan Arvian
9 min readMay 22, 2020

--

Digital public relations as alternative strategy due to pandemic Covid-19
Photo by Austin Distel on Unsplash

Public relations kini menghadapi sebuah tantangan baru, dan tantangan itu kita sebut ‘The New Normal’.

Sebuah Kenormalan yang Baru

‘Normal yang baru’, sebuah ungkapan yang santar terdengar namanya karena kemunculan virus corona. Seperti yang kita tahu, virus corona atau yang bernama ilmiah SARS-CoV-2 adalah penyebab terjadinya pandemi COVID-19. Awalnya virus ini terdeteksi di Wuhan pada akhir tahun 2019, namun karena tingkat penyebarannya yang tinggi membuat banyak negara di dunia kocar-kacir dibuatnya.

Karena banyak dampak yang dihasilkan oleh kehadiran virus ini, beberapa negara termasuk Indonesia menerapkan sebuah kebijakan yang disebut sebagai “physical distancing”, berarti jaga jarak aman. Dilansir dari Tirto.id yang mengutip pernyataan Chrystia Freeland, Wakil Perdana Menteri Kanada dalam konferensi pers,

“Menjaga jarak secara fisik berarti tetap berada di dalam rumah kecuali Anda harus pergi bekerja atau membeli bahan makanan. Hal ini dilakukan untuk membatasi penyebaran COVID-19.”

Sejak physical distancing diterapkan oleh beberapa negara angka COVID-19 seharusnya dapat ditekan untuk terus turun, namun nyatanya kurva ini tak kunjung merendah. Maka itu mencuatlah sebuah ide yang kemudian menjadi kebijakan, yaitu lockdown.

Mengunci total wilayah episentrum pandemi adalah sebuah permasalahan yang berputar terus di masyarakat. Bagaikan pisau bermata dua, lockdown tidak hanya memiliki dampak dalam penyebaran virus tetapi juga pada perekonomian negara. Memang lockdown berhasil diterapkan oleh beberapa daerah seperti Wuhan, namun sepertinya melihat kondisi di Indonesia, hal ini sulit untuk dilakukan.

Dengan adanya pertimbangan tersebut, pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai diterapkan 10 April 2020 di DKI Jakarta. Aturannya serupa dengan lockdown dengan beberapa perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Awalnya, kebijakan ini tidak dianggap berat bagi sebagian masyarakat. “Libur dua minggu, ceunah” mungkin jadi kalimat yang tepat untuk menyederhanakan arti kebijakan ini. Sayangnya, kurva yang belum bisa ditekan membuat kebijakan ini terus-menerus diperpanjang hingga tepat pada saat narasi ini dibuat. Maka itu muncul sebuah pertanyaan baru di benak masyarakat,

“Bagaimana kami bisa bekerja dan beraktivitas tanpa keluar rumah?”

Pandemi dan Sumber Segala Kepusingan Para Humas

Humas atau public relations adalah sebuah profesi yang berada di lingkup ilmu komunikasi dan lekat kaitannya dengan korporat serta media. Menurut definisi yang dikemukakan oleh International Public Relations Association (IPRA), Humas ialah praktik manajemen decision-making yang bertugas untuk membangun relasi dan minat antara organisasi dengan publiknya, melalui cara pertukaran informasi berlandaskan metode komunikasi yang etis dan terpercaya. Sementara menurut Cutlip, Center, dan Broom, Humas adalah fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik yang memengaruhi kesuksesan dan kegagalan organisasi tersebut.

Dari perbandingan dua definisi tersebut, kita bisa menyimpulkan salah satu tugas Humas adalah membangun dan mempertahankan hubungan yang baik antara organisai — atau korporat, dengan publiknya. Publik disini bisa bermacam-macam, baik internal seperti karyawan, maupun eksternal seperti komunitas, pelanggan, serta media.

Pusing. Satu kata pasca pandemi ini mengetuk “pintu masuk” ke Indonesia. Terlebih lagi untuk seorang Humas. Lha wong kerjaannya menjalin relasi, tetapi malah dibatasi karena adanya physical distancing. Banyak pekerjaan seorang Humas yang mengharuskan adanya interaksi, dan itu sepertinya tidak cukup jika dihitung menggunakan jari dari tangan sampai kaki.

Mari kita beri contoh. Misalnya saja konferensi pers yang notabene merupakan pekerjaan sehari-hari Humas, memberikan informasi kepada media mengenai aktivitas organisasi yang ingin dipublikasian. Contoh lainnya adalah public relations campaign, serangkaian kampanye dengan tujuan tertentu yang banyak memakan waktu dengan acara yang sangat beragam.

Sebagai mahasiswa pula, banyak keresahan dirasa karena physical distancing yang tak urung selesai. Penulis sendiri misalnya, tahun ini diamanahi jabatan di beberapa organisasi. Positif di awal sudah penulis rasakan untuk tahun 2020, namun bagai negara api menyerang dunia Avatar, pandemi datang begitu saja tidak pandang bulu dan menyebabkan runtuh sudah rencana-rencana tahun 2020. Ruang yang terbatas ini kemudian menciptakan sebuah kesempitan.

Kesempitan yang dimaksud pada judul narasi, ketika ruang gerak menjadi terbatas karena harus melaksanakan physical distancing. Hal ini sangat dirasakan oleh beberapa bidang keprofesian tidak terkecuali Humas. Memang semenjak COVID-19 melanda seluruh negara, banyak aktivitas kehumasan yang harus berhenti dan shifting menjadi virtual.

Pada sebuah kuliah umum yang penulis ikuti, terdapat satu narasumber yang ternyata merupakan alumni jurusan penulis. Beliau bekerja sebagai Corporate Communications di Forrest Interactive, Malaysia. Saat kuliah umum tersebut beliau memaparkan bahwa perusahaannya melakukan shifting program-program kehumasan dengan menggunakan berbagai tools untuk memudahkan pekerjaan seperti Asana dan Time Doctor. Beliau juga sempat menyinggung “The New Normal” walau hanya sedikit.

Nah, berangkat dari beragamnya tools inilah kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya “The New Normal” bukanlah sebuah kesempitan, tapi merupakan sebuah kesempatan. Tidak, bukan hanya kesempatan, tapi kesempatan besar.

“Memang apa yang harus kami ketahui dan kami lakukan dalam ‘The New Normal’ ini?”

Kesempatan yang Datang saat Pandemi

Walau terlihat menakutkan, pandemi COVID-19 memberi sebuah berkah juga — penulis tidak sepenuhnya setuju dengan hal ini. Tetapi memang tidak bisa kita pungkiri, sejak diberlakukannya PSBB, kita dipaksa untuk lebih melek teknologi.

Dulu, kita bisa menghitung dengan jari masyarakat yang mengetahui Google Meet, Zoom, Google Classroom, dan aplikasi-aplikasi lainnya. Karena kita terpaksa untuk berada di rumah, kita harus memaksimalkan tools-tools tersebut demi menunjang pekerjaan sehari-hari. Penulis juga merasakan hal ini, karena tersendatnya alur komunikasi, beberapa proyek yang penulis pimpin akhirnya dipindahtempatkan melalui Google Meet, Zoom, Asana, atau Notion. Semua fungsinya hampir sama, yaitu membantu pekerjaan kita.

And guess what? It works!

Melansir Republika.co.id, CEO Google Sundar Pichai mengumumkan kinerja kuartal pertama perusahaannya. Layanan Google Meet mendapatkan kenaikan traffic dengan pertambahan tiga juta pengguna per hari. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa masyarakat sekarang sedang berada di tengah-tengah ‘hijrah’ dari offline menuju online.

Selain kenaikan pengguna platform virtual, kenaikan pengguna internet juga terjadi selama pandemi ini. CNN menyatakan dari hasil wawancara dengan pihak Telkomsel, XL, serta Biznet, dapat disimpulkan pengguna internet naik sekitar 40 persen.

Maka itu, adanya lonjakan masyarakat yang melek internet ini seharusnya bisa dijadikan opportunity, bukan obstacle oleh seorang Humas. Dengan belajar memahami “normal baru” dan strategi yang bisa kita terapkan, seharusnya pandemi tidak akan menjadi kesempitan, namun berubah menjadi kesempatan baru.

Nah, Kembali ke pertanyaan apa yang harus diketahui dan apa yang harus dilakukan, mungkin narasi di bawah dapat membantu.

Pahami Dulu “The New Normal”

Hidup di era “Normal Baru’ tidak hanya mengubah tatanan interaksi masyarakat, namun juga mengubah pola konsumsi masyarakat. Pada Webinar Perhumas Indonesia, “PR in the Age of Physical Distancing” dikemukakan bahwa akan terjadi consumer megashift yang terjadi. Pertama adalah munculnya gaya hidup untuk tetap di rumah, gaya konsumsi back to basic, munculnya emphatetic people, serta muncul beragam teknologi virtual di internet.

Gaya hidup stay-at-home adalah salah satu pengaruh besar dari pandemi ini. Kini, mulai banyak perusahaan yang melakukan work from home sehingga kebutuhan untuk mobilitas jadi berkurang. Gaya hidup ini akan menimbulkan pola konsumsi online dan delivery, karena masyarakat ingin tetap berada di rumah. Gaya hidup ini juga membuat masyarakat kembali memiliki waktu untuk memasak, olahraga, merapihkan rumah — agar zoomable, dan berkumpul dengan keluarga.

Konsusmi back to basic adalah bagian dari bottom pyramid yang ada pada teori hirearki kebutuhan Marslow. Kebutuhan ini disebut sebagai “physiological needs” yang mencakup sandang, pangan, papan, dan alat kesehatan. Penulis tidak heran hal ini terjadi, karena COVID-19 menyebabkan masyarakat harus bertahan hidup dan tetap memenuhi kebutuhan pokoknya. Masalah juga disebabkan daya beli masyarakat yang turun selama pandemi.

Munculnya emphatetic people terjadi karena hadirnya solidaritas masyarakat untuk memerangi virus corona yang sama-sama menyusahkan mereka. Tercpita banyak gerakan seperti #dirumahaja untuk mengingatkan masyarakat senantiasa tetap di rumah jika kondisinya memungkinkan.

Industri yang memasuki era 4.0 juga memudahkan masyarakat mengakses teknologi virtual pada masa pandemi. Setelah “new normal” hadir, dipastikan social virtual experience, waktu kerja yang fleksibel, generasi Zoom, telemedicine, online school, dan cloud-based lifestyle akan segera mengubah masyarakat Indonesia.

Megashift ini tentunya juga akan terjadi pada profesi kehumasan. Penulis sendiri mendapatkan insight ketika mengikuti Webinar Perhumas Muda Bandung bertajuk “PR Club : Strategi Mahasiswa PR Menghadapi “The New Normal”. Pada saat itu dikemukakan bahwa profesi Humas akan cepat beralih menjadi Digital PR. Layaknya definisi Humas secara umum, Digital PR tetap akan menjalin relasi, namun melalui internet.

Hal ini diamini oleh Ratri Dwifajar Purwanti (Account Executive Talk Link PR) yang ‘membocorkan’ sedikit kemungkinan kegiatan Humas setelah pandemi COVID-19. Menurutnya, kegiata kehumasan akan berubah menjadi live event, press release distribution, online gathering, webinar, newsletter management, live talkshow melalui Instagram atau YouTube, one on one interview, serta podcast. Kondisi ini juga beliau percaya adalah era adaptasi bagi Humas untuk mengevaluasi kegiatan dan mengeksplorasi berbagai alternatif strategi komunikasi demi mempertahankan eksistensi organisasi di mata publiknya.

Menjadi Digital PR

Prof. Neni Yulianita (Dewan Pembina Badan Pengurus Cabang Perhumas Bandung) mengatakan bahwa Digital PR adalah sebuah ranah kehumasan yang menciptakan dan menjaga citra positif dengan menampilkan pesan organisasi dan brand di media internet. Aktivitasnya mencakup mendengarkan isu melalui media sosial (media monitoring), mendeteksi isu tersebut dan menaganginya, serta menciptakan konten brand yang menarik untuk publik.

Beliau mengemukakan terdapat empat taktik yang dapat digunakan oleh Digital PR. Taktik tersebut adalah manajemen konten dengan storytelling, manajemen promosi di media sosial, pemaksimalan Search Engine Optimization (SEO), serta e-public relations yang mencakup blogging, dan pembuatan artikel.

Banyak sekali keuntungan yang bisa kita dapatkan jika memahami Digital PR. Melansir dari prindonesia.co, Head of Corporate Communications PT. Astra International Tbk, Boy Kelana Soebroto merasakan keuntungan tersebut. Aktivitas Digital PR diakuinya lebih atraktif, interaktif, efektif, efisien, dan terukur bagi brand dalam menyampaikan pesannya kepada publik Keuntungan ini juga dirasakan oleh Adita Irawati, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi. Menurutnya, Humas harus membangun interaksi yang kuat dengan audiens-nya di media sosial. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, interaksi sangat diperlukan untuk memastikan konten yang disajikan benar-benar efektif dan relevan bagi audiens yang disasar.

Harus Banyak Belajar

Menjadi seorang Humas membuat kita harus banyak belajar, terutama saat “The New Normal” datang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pembaca, tapi juga bagi penulis. Haus akan ilmu dan pengetahuan adalah yang baik, tanpanya kita tidak dapat meng-upgrade diri kita menjadi lebih bijak lagi.

Walau dengan pengetahuan yang masih minim, penulis akan memberikan tips yang penulis dapat dari Mbak Ratri bagi Humas dalam menghadapi “The New Normal”.

Pertama, cobalah untuk selalu eksis dan keep in touch dengan media dan stakeholder, baik dengan berkirim kabar, terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, selalu siaga, dan maksimalkan digital presence yang berlandaskan empati.

Kedua, berkreasi dan berinovasi pada taktik yang akan digunakan. Misalnya saja menggunakan storytelling dalam membuat konten media sosial, atau memperluas branding tidak hanya melalui platform above the line dan below the line, tapi gunakan juga platform through the line.

Ketiga, maksimalkan jalinan relasi yang ada dengan kolaborasi. Melalui kolaborasi ini, Humas dapat memperluas jaringan, promosi, bahkan inovasi yang bisa menghasilkan sesuatu yang baru.

Penutup

Berbicara “normal baru” pastinya tidak akan selesai. Kita juga tahu bahwa pandemi COVID-19 akan terus berlangsung dalam beberapa waktu kedepan yang tidak bisa prediksi. Satu hal yang pasti, efek dari pandemi ini tidak main-main. Banyak pemberitaan di luar sana yang sudah menginformasikan apa yang terjadi.

Kesempitan. Memang di masa seperti ini banyak kesempitan yang akan dilalui oleh Humas-humas di seluruh dunia. Namun dengan banyak belajar, terus mencari tahu, mau berinovasi, dan berpikir kritis, kita dapat mengubah kesempitan itu menjadi ‘Kesempatan’. Kesempatan untuk lebih paham lagi, kesempatan untuk lebih pintar, lebih kreatif, dan kesempatan menjadi Digital PR yang sesungguhnya.

sesungguhnya tulisan ini adalah pikiran penulis saja, ditambah dengan beberapa sumber data dan pengetahuan yang penulis pahami. Feel free to respond and give criticsm!

Referensi :

CNN Indonesia. Pengguna Internet Kala WFH Corona Meningkat 40 Persen di RI. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200408124947-213-491594/pengguna-internet-kala-wfh-corona-meningkat-40-persen-di-ri pada 22 Mei 2020.

Cutlip, Scott M. Effective Public Relations : Edisi 9. Jogjakarta: Kencana

IPRA. A New Definition of Public Relations. Diakses dari https://www.ipra.org/member-services/pr-definition/ pada 22 Mei 2020.

Kumparan. Arti Hidup ‘The New Normal’ di Tengah Corona Menurut Pemerintah. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/arti-hidup-the-new-normal-di-tengah-corona-menurut-pemerintah-1tRZg8OnHgO pada 22 Mei 2020.

Kontan.co.id. Survei BPS: pengeluaran bertambah, pendapatan lebih dari 50% responden turun. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/survei-bps-pengeluaran-bertambah-pendapatan-lebih-dari-50-responden-turun pada 22 Mei 2020

Marslow, Abraham. 1943. A Theory of Human Motivation. Psychological Review.

PR Indonesia. Round Up : Meredefinisi Peran Digital PR. Diakses dari https://www.prindonesia.co/detail/1420/Meredefinisi-Peran-Digital-PR pada 22 Mei 2020.

Republika.co.id. Pengguna Google Meet Tambah 3 Juta Pengguna per Hari. Diakses dari https://republika.co.id/berita/q9jbsw368/pengguna-google-meet-tambah-3-juta-pengguna-per-hari pada 22 Mei 2020

Tirto.id. Arti Physical Distancing dan Social Distancing, Apa Perbedaannya?. Diakses dari https://tirto.id/arti-physical-distancing-dan-social-distancing-apa-perbedaannya-eHNf pada 22 Mei 2020.

Yulianita, Neni & Ratri Dwifajar. Webinar PR Club : Strategi Mahasiswa PR Menghadapi “The New Normal”. Kamis, 21 Mei 2020.

--

--

Farrel Fauzan Arvian
Farrel Fauzan Arvian

Written by Farrel Fauzan Arvian

Menulis adalah menuangkan ide pikiran, dan kadang, pikiran saya kusut dengan ide. Jadi inilah tulisan-tulisan saya, untuk menguntai apa yang kusut di kepala.

No responses yet