Asrama Dara, Ketika Perempuan Terbelenggu Budaya
Setiap hari, pulang dari kuliah naik trem dan bis kota. Di sana banyak lelaki main mata…
Kehadiran trem pada film lawas ini membuat saya tertarik untuk menonton “Asrama Dara”, sebuah karya cipta Usmar Ismail pada tahun 1958. Saya ingat, saat itu waktu menunjukan pukul 11 malam saat saya menemukan film tersebut pada kanal YouTube. Yah, tipikal mahasiswa kere, apa-apa cari di internet gratisan.
Film ini sendiri dibintangi oleh beberapa pemain yang saya pun asing mendengarnya, seperti Aminah Cendrakasih, Baby Huwae, Chitra Dewi, dan beberapa artis lain yang kalau saya sebut bisa-bisa kalian bosan membacanya. Paling yang saya kenal hanya Suzanna, dan itu pun belum seperti Suzanna yang kita kenal sekarang, karena masih berumur sekitar 15 tahun-an.
Plot nya sederhana sih, layaknya beberapa sinetron atau FTV zaman kini. Ada kisah percintaan dan kisah keluarga yang dibalut dengan sajian musikal serta humor khas tahun lima puluhan. Tetapi, dibalik kesederhanaan alur kisahnya, ada beberapa pesan yang mungkin Usmar Ismail coba katakan, khsusunya untuk perempuan di tahun 1950-an.
Karena tertarik melihat keadaan trem yang saya bahas di awal, tentu yang jadi fokus saya adalah mencari adegan Tari (Aminah Chendrakasih) yang bernyanyi sembari berada di dalam Trem. Ungkapan “banyak lelaki main mata” pada lirik yang ia nyanyikan membuat saya terkejut. Lah wong saya gak nyangka Tari bakalan bicara begitu. Nah, dari sinilah saya memutuskan untuk menonton keseluruhan alur ceritanya.
Dalam film ini terdapat empat bagian besar plot yang mengisahkan setiap konflik penghuni Asrama Dara yang dikepalai oleh Bu Siti (Fifi Young). Bu Siti sendiri dianggap menjadi ibu yang sangat bertanggung jawab atas anak-anak asuhnya.
Sebagian Asrama Dara, pertama yaitu mengisahkan Ani (Nurbani Jusuf) dan Ina (Suzanna) yang merupakan kakak beradik, menjadi penghuni baru karena pertengkaran ayahnya serta ibunya yang orang penting di politik masa itu. Plot ini lebih mengedepankan kisah kekeluargaan di antara Ani, Ina, serta orang tuanya.
Plot kedua berasal dari cinta lika-liku antara Maria (Baby Huwae) seorang pramugari yang dicintai pilotnya yaitu Imansyah (Bambang Hermanto), namun lebih menyukai Broto (Rendra Karno). Broto di lain sisi lebih menyukai teman Maria, yaitu Sita (Nun Zairina) guru tari yang mendapat modal membuka tempat latihan dari Broto dengan bantuan Maria.
Kemudian plot ketiga terjadi karena Rahimah (Chitra Dewi) yang merupakan calon dokter, harus mengorbankan pendidikannya demi menikah di kampung atas permintaan orang tuanya. Ia dibantu oleh Nasrul (Bambang Irawan) dalam menyelesaikan permasalahannya.
Kisah terakhir berasal dari kisah cinta dan perasaan Tari yang bertemu seseorang laki-laki pada adegan di trem, namun laki-laki tersebut berumur hampir sama dengan ayah Tari.
Akhirnya mudah ditebak. Keluarga Ani-Ina kembali rukun karena sebuah konflik, Tari mendapatkan laki-laki yang seumuran dengannya, Rahimah kembali berkuliah dan Nasrul melamarnya — ternyata ia yang dijodohkan oleh orang tua Rahimah, dan Maria jadian dengan Imansyah, sementata Broto dengan Sita.
Hal yang menarik untuk saya coba jelaskan disini adalah pesan yang dibawa oleh Usmar Ismail terkait perempuan-perempuan ini. Bagaikan menampar masyarakat tentang budaya yang membelenggu kebebasan perempuan pada zaman itu.
Pembawaan Bu Siti yang tegas namun terkesan kolot tergambar dalam beberapa adegan yang menyuruh Rahimah untuk segera menikah, kalau tidak mau jadi “perawan tua” istilahnya. Ia juga sangat protektif dengan adanya laki-laki yang masuk ke Asramanya, menandakan ada sebuah ketakutan di benak Bu Siti jika laki-laki tersebut dibiarkan bebas ngapel di Asrama.
Dalam adegan Trem dan Bus Kota juga, Tari mendapat beberapa pelecehan yang ia ungkapkan secara verbal dan non-verbal. Istilah “main mata” terucap olehnya beberapa kali menandakan para laki-laki ini senang ada perempuan cantik di dalam Trem, yang notabene pada adegan itu diisi oleh laki-laki. Ada pula adegan rambut Tari dipegang oleh laki-laki tidak dikenal yang membuat dirinya merasa risih, segera ingin turun dari Trem tersebut.
Ani dan Ina yang fokus plot nya pada keluarga memang tidak menggambarkan belenggu perempuan seperti kisah lain, namun ada satu adegan ayah Ani-Ina benci karena istrinya lebih sukses dan sibuk dibanding dirinya. Seakan ada pemikiran lewat di benak saya, seperti “perempuan tidak boleh lebih sukses dari laki-laki”, dan “perempuan cuma boleh kerja di dapur, urus anak-anak”.
Pengaruh budaya belenggu ini pun tidak terlalu saya rasakan dalam kisah percintaan antara Maria, Sita, Imansyah, dan Broto. Hanya layaknya kisah menye-menye romansa lain dengan plot cinta segitiga.
Plot Rahimah dan Nasrul cukup menarik ketika saya tonton. Walau di akhir ketahuan bahwa Nasrul lah yang akan meminang dirinya, Rahimah dihadapkan beberapa permasalahan yang bahkan saya dalam hati katakan, miris banget. Pertama, ia dijodohkan dengan seseorang di kampung oleh orang tua (seperti Siti Nurbaya era lima puluh) dan harus menghentikan pendidikannya sebagai calon dokter. Sayang banget. Kemudian, demi mencari uang untuk tambahan sewa asramanya, ia harus menjadi guru SMA dan sempat digodain oleh murid-muridnya yang nakal, sampai di satu titik ada adegan ia menangis di depan kelas tidak tahan dengan kelakuan mereka.
Perempuan di Asrama Dara adalah potret beberapa perempuan di tahun yang sama. Mereka memiliki keinginan untuk maju, berpendidikan, namun sayang terkadang suka tersandung tekanan budaya, baik dari orang tua atau masyarakat. Rahimah yang dipaksa menikah dan mengorbankan masa depannya. Ani dan Ina yang memiliki keluarga cukup bermasalah, hingga Tari yang mendapat pelecehan di transportasi publik dan dianggap normal saat itu!
Memang semua itu adalah adegan lakon semata, tapi percaya deh, ada lho versi nyatanya. Toh, film ini dibuat dengan kedekatan budaya saat itu di Jakarta. Jadi seharusnya tidak akan beda jauh dengan realita aslinya.
Dan mirisnya lagi, apa yang terjadi pada Rahimah, Tari, Ani dan Ina masih terjadi sampai sekarang. Ada beberapa kenalan saya yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah, di umur 17 tahun sudah dipaksa harus menikah dengan orang berumur 30 tahun-an demi kehidupan yang mapan. Padahal ia mungkin asih memiliki masa depan untuk kuliah dan merasakan berkarya dulu. Pelecehan pun kerap terjadi, di kampus, tempat publik, bahkan di dekat rumah bisa menjadi area bahaya bagi perempuan, hanya karena nafsu laki-laki semata.
Perbedaanya, ya ada sih. Perempuan sekarang, — walau belum semua, sudah mulai speak up jika menjadi korban pelecehan. Selain itu di era informasi yang lancar seperti air sungai ini, awareness tentang pentingnya mengenyam pendidikan, tidak menikah 'terlalu' muda, serta informasi mengenai pelecehan sudah banyak berkembang, walau tetap saja kadang masih tersandung budaya yang ada.
Walau bentuknya musikal humor, ternyata film Asrama Dara menyimpan banyak nilai-nilai mengenai perempuan yang kalau kalian perhatikan, relate dengan keadaan di Indonesia. Nah maka itu, dengan adanya film ini dan mungkin sedikit informasi dari saya dan kritikus lain di mbah google, kalian-kalian jadi terinspirasi untuk membangkitkan semangat, mematahkan belenggu budaya perempuan yang lama melekat pada masyarakat kita, sehingga bisa lebih aware dan pastinya menjadi masyarakat yang lebih baik kedepannya.
Well, pukul sudah menunjukan setengah 3 pagi, karena besok saya ada UTS Kapita Selekta maka saya harus pamit. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!
—
Tulisan ini dibuat hanya untuk media komunikasi pikiran semata, tanpa ada maksud menjelekkan pihak-pihak. Semua sumber nama tokoh berasal dari wikipedia.